Kamis, 18 Oktober 2012

Selat Malaka Potensi yang Diabaikan


 
Begitu strategis dan pentingnya Selat Malaka, selama ini telah di sia siakan Pemerintah Indonesia. Akibatnya negara ini harus kehilangan potensi pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahunya dari potensi ekonomi selat yang menjadi jalur pelayaran tersibuk di dunia yang dilalui lebih dari 90.000 kapal berbagai ukuran setiap tahunnya dengan muatan kargo dan minyak dari seluruh dunia.
 
Meski Indonesia memiliki sebagian besar atas wilayah Selat Malaka, namun negara ini tidak berdaya menghadapi Singapura dan Malaysia dalam pemanfaatan potensi ekonomi selat tersebut. Dua negara itu, khususnya Singapura sejak lama menikmati puluhan triliun rupiah setiap bulanya dari bisnis pelayaran dan perkapalan di Selat Malaka.
 
Dari usaha jasa pandu kapal saja, Singapura disinyalir memperoleh separuh dari omset bisnis itu atau sekitar 30 trilun rupiah setiap tahunnya. Dengan asumsi jumlah kapal yang melalui Selat Malaka pertahun sebanyak 90 ribu kapal berarti sebulanya 7.500 kapal yang lalu lalang dan jika jasa pandu kapal 65.000 dollar AS per kapal maka jika ada 90 ribu kapal berarti omset bisnis ini pertahun mencapai 58 triliun rupiah. Bila Singapura mengelola separuh dari omset tersebut maka pendapatan negeri kota itu sekitar 30 triliun rupiah per tahun, sisanya dibagi Malaysia dan Indonesia.
 
Singapura juga menikmati pendapatan dari biaya lego jangkar dan labuh kapal yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulannya. Negara itu juga menikmati pendapatan dari penjualan air bersih dan Bahan Bakar Minyak yang nilainya juga mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulannya.
 
Indonesia yang memiliki sebagian besar atau sekitar 80 persen wilayah Selat Malaka ironisnya hanya menjadi penonton dan ironisnya lagi malah menjadi pemasok barang barang yang dijual Singapura ke atas kapal asing tersebut, contohnya air bersih dan Bahan Bakar Minyak serta gas.
 
Salah satu Pejabat di Kementrian Perhubungan, Capt. Purnama S. Meliala menyadari kalau Indonesia telah kehilangan potensi pendapatan triliun rupiah setiap bulanya dari potensi ekonomi Selat Malaka disebabkan ketidakmampuan negara menangkap peluang tersebut. Dari usaha jasa pandu, Indonesia ketinggalan jauh disbanding Singapura bahkan negara ini baru menyatakan siap mengelola bisnis jasa pandu kapal pada tahun 2008 dan ironisnya hingga saat ini jasa pemandu Indonesia yang jumlahnya hanya puluhan tersebut lebih banyak menganggur karena kapal asing lebih memilih jasa pemandu dari Singapura dan Malaysia. Pasalnya, pemandu Indonesia belum banyak yang memiliki sertifikat IMO (International Maritime Organization) sehingga diragukan keahlianya dalam memandu kapal.
 
Untuk memaksa kapal kapal asing tersebut memakai jasa pemandu dalam negeri, Indonesia telah berulang kali membuat regulasi. Pertama tahun 2007 dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Dirjen Perhubungan Laut (Hubla)  Nomor: PU.63/1/8/DJPL.07 tanggal 28 Desember 2007 tentang Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa di Selat  Malaka dan Selat Singapura. Dalam SK tersebut disebutkan wilayah perairan Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai perairan pandu ditetapkan dengan batas-batas yang meliputi sebelah utara Tanjung Balai Karimun sampai perairan sebelah utara Pulau Batam.
 
Setahun kemudian, Pemerintah juga membuat Undang Undang Pelayaran nomor 17 tahun 2008 yang di dalam pasal 198 ayat 1 disebutkan bahwa “Pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Artinya, setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa itu wajib menggunakan jasa pemanduan”.
 
Celakanya, aturan tersebut justru dimanfaatkan untuk kapal yang hanya melintasi perairan dalam negeri yang mengangkut muatan kargo antar daerah. Sedangkan bagi kapal asing yang lebih banyak lalu lalang di Selat Malaka yang potensinya justru lebih besar tidak disentuh.
 
Padahal kapal kapal asing tersebut, menurut Purnama banyak yang melewati perairan Indonesia yang mestinya sesuai dengan Undang Undang nomor 17 tahun 2008 harus dipandu oleh pemandu dari Indonesia.. Kondisi tersebut mengalami pembiaran cukup lama, padahal aksi pemandu dari negara asing mestinya di hentikan karena Illegal.

Pengamat industri pelayaran dan pelabuhan, Sungkono Ali, menilai hingga saat ini memang ada kesemrawutan dalam usaha kegiatan pemanduan di Selat Malaka yang memiliki panjang 245 Mil itu. Padahal sudah jelas, 80 persen wilayah Selat Malaka merupakan wilayah Indonesia yang seharusnya kewenangan kepanduan dilakukan Indonesia.

Sungkono Ali yang juga Ketua Umum Lembaga Kelencaran Arus Barang Indonesia (Likabindo) menyebut selama ini tidak kurang dari 90 ribu kapal berbagai ukuran melintas di selat malaka per tahun atau 7.500 kapal per bulannya tanpa pemanduan dari petugas Indonesia. Akibatnya, potensi pemanduan kapal di selat itu diambil alih tenaga dan kapal pandu dari Singapura dan Malaysia secara illegal karena mereka memandu kapal-kapal itu melewati wilayah perairan Indonesia sehingga potensi pendapatan negara menjadi hilang.

Senada dengan Sungkono, Anggota DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau, Djasarmen Purba mengatakan, aksi jasa pemandu dari Singapura dan Malaysia yang melintasi perairan Indonesia sudah melanggar Kedaulatan Negara Republik Indonesia di wilayah tersebut. Ironisnya, kondisi tersebut terus dibiarkan dan sudah berlangsung lama. Padahal, Indonesia sudah memiliki petugas pemandu untuk lalu lintas laut.

“Sudah saatnya Pemerintah Indonesia bersikap tegas atas aksi illegal pemandu asing di perairan Indonesia dan negara ini juga harus sudah siap mengambil alih bisnis jasa pandu kapal tersebut dengan menyiapkan infrastruktur serta sumber daya manusianya,” kata Djasarmen.

Ketua Kadin Batam yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia, Nada Faza Soraya mengatakan, harus ada keinginan politik yang kuat dari Pemerintah Indonesia untuk mengambil alih potensi maritime di Selat Malaka yang selama ini dinikmati Singapura serta Malaysia. Untuk itu, dibutuhkan perangkat dan infrastruktur yang cukup. Misalnya, harus disediakan tenaga ahli pemandu kapal yang professional dan diakui secara internasional dengan adanya sertifikat keahlian dari IMO. Kemudian pemerintah harus menyerahkan pengelolaan jasa pemanduan tersebut pada perusahaan yang memiliki pengalaman seperti Pelindo.

Perangkat pendukung juga harus disiapkan seperti operator radio, crew station, administrasi kantor dan lainnya. Kedua, penyiapan sarana dan perasarana yang meliputi hardware dan softare. Hardware seperti stasiun dan kapal-kapal pandu dan kelengkapannya harus baik begitu pula terhadap software seperti pengetahuan hukum nasional dan internasional, system operasi, system administrasi dan marketing serta tarif. Sangat penting juga dilakukan marketing dan sosialisasi imternasional melalui berbagai organisasi internasional seperti IMO, IMPA dan Duta Besar Negera Tetangga.

Nada Optimistis bisnis jasa pandu kapal ini akan member pemasukan pada negara cukup besar seiring makin banyaknya kapal kapal asing yang melintasi selat malaka. Jumlah kapal tersebut hingga saat ini diperkirakan sekitar 10.000 kapal pertahun yang terdiri dari berbagai ukuran. Jika pemerintah bisa mengelola setengah dari omset bisnis pelayaran dan perkapalan tersebut maka sudah bisa dipastikan penerimaan negara bisa mencapai 100 triliun rupiah setiap tahunnya dan dengan demikian negara ini bisa membangun industri maritime yang kuat. (gus).
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar